Kamis, 30 Januari 2014

Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi


KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 234/U/2000
TENTANG
PEDOMAN PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
 
Menimbang :
 
bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 118 dan Pasal 121 Peraturan
Pemerintah nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, dipandang 
perlu menetapkan kembali Keputusan Menteri Pendidikan Nasional 
tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi
 
Mengingat :
 
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional 
   (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara 
   Nomor 3374); 
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 tentang 
   Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 115, Tambahan 
   Lembaran Negara Nomor 3859);
 
MEMUTUSKAN :
 
Menetapkan :
 
KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
TENTANG PEDOMAN PENDIRIAN PERGURUAN TINGGI
 
BAB I
 
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1
 
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
 
 1. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional;
 2. Perguruan tinggi negeri selanjutnya disebut PTN adalah perguruan 
    tinggi yang diselenggarakan oleh Menteri.
 3. Menteri lain adalah Menteri yang bertanggungjawab atas 
    penyelenggaraan perguruan tinggi di luar lingkungan Departemen 
    Pendidikan Nasional;
 4. Perguruan tinggi swasta selanjutnya disebut PTS adalah perguruan 
    tinggi yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Perguruan 
    Tinggi Swasta.
 5. Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta yang selanjutnya 
    disingkat BPPTS adalah badan hukum/yayasan yang bersifat nir laba 
    yang menyelenggarakan perguruan tinggi swasta (PTS).
 6. Perguruan tinggi kedinasan selanjutnya disebut PTK adalah akademi, 
    politeknik atau sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh Menteri 
    lain atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen (LPND) untuk
    meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi 
    pegawai atau calon pegawai di lembaga yang bersangkutan.
 7. Akademi adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan program 
    pendidikan profesional dalam satu cabang atau sebagian cabang ilmu 
    pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.
 8. Politeknik adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan program 
    pendidikan profesional dalam sejumlah bidang pengetahuan khusus.
 9. Sekolah Tinggi adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan 
    pendidikan profesional dan akademik dalam lingkup satu disiplin 
    ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.
10. Institut adalah perguruan tinggi yang di samping menyelenggarakan 
    pendidikan akademik dapat pula menyelenggarakan pendidikan 
    profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, 
    teknologi dan/atau kesenian sejenis.
11. Universitas adalah perguruan tinggi yang di samping 
    menyelenggarakan pendidikan akademik dapat pula menyelenggarakan 
    pendidikan profesional dalam sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, 
    teknologi dan/atau kesenian tertentu.
12. Fakultas adalah satuan struktural pada universitas atau institut 
    yang mengkoordinasikan dan/atau melaksanakan pendidikan akademik 
    dan/atau profesional dalam satu atau seperangkat cabang ilmu 
    pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian tertentu.
13. Program Diploma I selanjutnya disebut Program D I adalah jenjang 
    pendidikan profesional yang mempunyai beban studi minimal 40 
    satuan kredit semester (sks) dan maksimal 50 sks dengan kurikulum 
    2 semester dan lama program antara 2 sampai 4 semester setelah 
    Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
14. Program Diploma II selanjutnya disebut Program D II adalah jenjang 
    pendidikan profesional yang mempunyai beban studi minimal 80 
    satuan kredit semester (sks) dan maksimal 90 sks dengan kurikulum 
    4 semester dan lama program antara 4 sampai 6 semester setelah 
    Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. 
15. Program Diploma III selanjutnya disebut Program D III adalah 
    jenjang pendidikan profesional yang mempunyai beban studi minimal 
    110 satuan kredit semester (sks) dan maksimal 120 sks dengan 
    kurikulum 6 semester dan lama program antara 6 sampai 10 semester 
    setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
16. Program Diploma IV selanjutnya disebut Program D IV adalah 
    jenjang pendidikan profesional yang mempunyai beban studi minimal 
    144 satuan kredit semester (sks) dan maksimal 160 sks dengan 
    kurikulum 8 semester dan lama program antara 8 sampai 14 semester 
    setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
17. Program Sarjana selanjutnya disebut Program S1 adalah jenjang 
    pendidikan akademik yang mempunyai beban studi antara minimal 
    144 satuan kredit semester(sks) dan maksimal 160 sks dengan 
    kurikulum 8 semester dan lama program antara 8 sampai 14 semester 
    setelah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
18. Program Magister selanjutnya disebut Program S2 adalah jenjang 
    pendidikan akademik yang mempunyai beban studi antara minimal 
    36 satuan kredit semester(sks) dan maksimal 50 sks dengan 
    kurikulum 4 semester dan lama program antara 4 sampai 10 semester 
    setelah pendidikan Program S1 atau sederajat.
19. Program Doktor selanjutnya disebut Program S3 adalah jenjang 
    pendidikan akademik yang ditempuh setelah perididikan Program S1 
    atau sederajat, atau ditempuh setelah pendidikan Program S2 atau 
    sederajat, dengan beban studi dan prosedur yang ditetapkan dengan 
    Keputusan Menteri;
20. Program Studi adalah kesatuan rencana belajar sebagai pedoman 
    penyelenggaraan pendidikan akademik dan/atau profesional yang 
    diselenggarakan atas dasar suatu kurikulum serta ditujukan 
    agar mahasiswa dapat mengusai pengetahuan, keterampilan dan 
    sikap yang sesuai dengan sasaran kurikulum.
21. Bagian adalah jurusan yang tidak mempunyai program studi.
22. Jurusan adalah unsur pelaksana akademik pada akademi, sekolah 
    tinggi atau fakultas dan sebagai wadah yang memfasilitasi 
    pelaksanaan program studi. 
23. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.
 
Pasal 2
 
(1) Pendirian pcrguruan tinggi merupakan pembentukan akademi, 
    politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas.
(2) Akademi terdiri atas satu program studi atau lebih yang 
    menyelenggarakan Program Diploma Satu (D I), Program Diploma Dua 
    (D II) dan/atau Program Diploma Tiga (D III).
(3) Politeknik terdiri atas tiga program studi atau lebih yang 
    menyelenggarakan Program Diploma Satu (D I), Program Diploma Dua 
    (D II), Program Diploma Tiga (D III) dan/atau Program Diploma 
    Empat (D IV).
(4) Sekolah tinggi terdiri atas satu program studi atau lebih yang 
    menyelenggarakan : program Diploma Satu (D I), Program Diploma 
    Dua (D II), Program Diploma Tiga (D III) dan/atau Program Diploma 
    Empat (D IV), dan yang memenuhi syarat dapat menyelenggarakan 
    Program S1, Program S2 dan/atau Program S3. 
(5) Institut terdiri atas enam program studi atau lebih yang 
    menyelenggarakan Program S1 dan/atau Program Diploma dan mewakili 
    tiga kelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau 
    kesenian yang berbeda dan yang memenuhi syarat dapat 
    menyelenggarakan Program S2, dan Program S3.
(6) Universitas terdiri atas sepuluh program studi atau lebih yang 
    menyelenggarakan Program S1 dan/atau Program Diploma dan mewakili 
    tiga kelompok bidang ilmu pengetahuan alam dan dua kelompok 
    bidang ilmu pengetahuan sosial atau lebih dan yang memenuhi syarat 
    dapat menyelenggarakan Program S2 dan Program S3.
(7) Jumlah program diploma yang diselenggarakan oleh institut dan 
    universitas, tidak melebihi setengah dan jumlah program sarjananya.
    
Pasal 3
 
Perubahan bentuk perguruan tinggi adalah :
 
a. Perubahan bentuk dari satu perguruan tinggi menjadi bentuk lain;
b. Penggabungan dari dua atau lebih bentuk perguruan tinggi;
c. Pemecahan dari satu bentuk perguruan tinggi menjadi bentuk 
   perguruan tinggi lain.
 
 
BAB II
 
PERSYARATAN
 
Pasal 4
 
Persyaratan pendirian/perubahan perguruan tinggi meliputi
a. rencana induk pengembangan (RIP);
b. kurikulum;
c. tenaga kependidikan;
d. calon mahasiswa;
e. statuta; 
f. kode etik sivitas akademika; 
g. sumber pernbiayaan; 
h. sarana dan prasarana; 
i. penyelenggara perguruan tinggi.
 
Pasal 5
 
(1) RIP merupakan pedoman dasar pengembangan untuk jangka waktu 
    sekurang-kurangnya lima tahun
(2) RIP memuat materi pokok :
    a. Bidang akademik,:
       1. Program kegiatan
          Satuan kegiatan yang berdasarkan peraturan perundangan atau 
          peraturan perguruan tinggi memiliki kewenangan dan 
          tanggungjawab yang mandiri untuk merancang, menyelenggarakan 
          dan melaksanakan kegiatan fungsional pendidikan tinggi dan/
          atau disiplin ilmu yang dituangkan dalam kegiatan proses 
          pembelajaran yang mengacu pada perkembangan ilmu pengetahuan 
          dan teknologi serta keperluan pembangunan masyarakat;
       2. Organisasi penyelenggaraan
          Suatu badan hukum atau pemerintah dalam hal ini Depdiknas, 
          Departemen lain dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang 
          berdasar perundangan yang berlaku dapat menyelenggarakan 
          perguruan tinggi;
       3. Sumberdaya manusia
          Tenaga pendidik atau kependidikan dan tenaga penunjang 
          pendidikan pada perguruan tinggi yang menyiapkan peserta 
          didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan 
          akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, 
          mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, 
          teknologi dan kesenian;
       4. Sarana akademik
          Semua peralatan penunjang pelaksanaan kegiatan akademik 
          perguruan tinggi sebagai persyaratan pendidikan suatu 
          perguruan tinggi;
       5. Kerjasama 
          Perguruan tinggi dapat menjalin kerjasama dengan perguruan 
          tinggi dan/atau lembaga lain baik di dalam maupun di luar 
          negeri yang bertujuan untuk saling meningkatkan dan 
          mengembangkan kinerja pendidikan tinggi yang bekerjasama 
          dalam rangka memelihara, membina, memberdayakan dan 
          mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
       6. Program penelitian dan pengabdian kepada masyarakat
          Penelitian merupakan unsur pelaksana di lingkungan perguruan 
          tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik untuk 
          melaksanakan kegiatan penelitian/pengkajian. 
          Pengabdian kepada masyarakat merupakan unsur pelaksana di 
          lingkungan perguruan tinggi untuk menyelenggarakan kegiatan 
          pengabdian kepada masyarakat dan ikut mengusahakan 
          sumberdaya yang diperlukan masyarakat serta mengendalikan 
          administrasi sumberdaya yang diperlukan.
    b. Administrasi Kepegawaian; 
    c. Prasarana Kampus; 
    d. Pembiayaan
    e. Tahapan penetapan sasaran dan kuantitatif dalam bidang 
       akademik, organisasi dan ketalaksanaan serta pengembangan 
       kampus.
(3) RIP disusun berdasarkan hasil studi kelayakan.
 
Pasal 6
 
Studi kelayakan mencakup : 
 
   a. Latar belakang dan tujuan pendirian perguruan tinggi; 
   b. Bentuk dan nama perguruan tinggi;
   c. Lembaga penunjang kegiatan pendidikan, penelitian, pengabdian 
      kepada masyarakat, administrasi dan perangkat teknis lainnya 
      seperti laboratorium dan perpustakaan;
   d. Dosen dan tenaga kependidikan lain serta pengembangannya; 
   e. Tenaga administrasi dan rencana pengembangannya; 
   f. Sumber dana kegiatan akademik; 
   g. Tanah yang dimiliki/dikuasai untuk pembangunan kampus;
   h. Bidang ilmu yang akan diselenggarakan; 
   i. Daya tampung mahasiswa dalam lima tahun mendatang;
   j. Kebutuhan masyarakat akan tenaga ahli yang akan dihasilkan; 
   k. Prospek minat mahasiswa; 
   l. Fasilitas fisik yang ada seperti ruang kuliah, ruang dosen, 
      ruang laboratorium, studio, ruang unit pelaksana teknis, 
      ruang instalasi dan ruang kantor serta rencana pengembangannya;
   m. Pembiayaan selama lima tahun yang meliputi biaya investasi, 
      penyelenggaraan dan proyeksi aliran dana; 
   n. Kesimpulan studi kelayakan yang meliputi analisis akademik 
      dan administratif, analisis keuangan dan analisis pemenuhan 
      kepentingan masyarakat dan pembangunan.
 
Pasal 7
 
(1) Kurikulum ditetapkan oleh penyelenggara perguruan tinggi yang 
    bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang 
    berlaku. 
(2) Kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan bagian 
    dari program kegiatan akademik;
(3) Program kegiatan akademik memuat keterangan mengenai jurusan/
    bagian/program studi, tujuan, silabi, peraturan akademik dan 
    administratif serta prospek lulusan perguruan tinggi yang 
    keseluruhannya itu tersusun dalam buku pedoman/katalog.
(4) Program kegiatan akademik disusun berdasarkan semester.
 
 
Pasal 8
 
(1) Dosen tetap pada perguruan tinggi yang baru didirikan untuk 
    setiap program studi sekurang-kurangnya 6 (enam) orang dengan 
    latar belakang pendidikan sama/sesuai dengan program studi yang 
    diselenggarakan dan dengan kualifikasi yang memenuhi syarat.
(2) Program studi yang didalam penyelenggaraannya memerlukan dukungan 
    lebih dari satu jurusan/bagian, maka selain ketentuan ayat (1) 
    disyaratkan pula harus mempunyai dosen tetap dari masing-masing 
    jurusan bagian pendukung. 
(3) Pada perguruan tinggi yang baru didirikan secara mandiri maupun 
    melalui kerjasama dengan pihak asing dosen tetap sebagaimana 
    dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat digantikan dengan 
    dosen kontrak yaitu seseorang yang memenuhi syarat dosen yang 
    dikontrak untuk masa sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai 
    dosen tetap atau dosen perguruan tinggi asing mitra kerjasama 
    yang ditugaskan sebagai dosen tetap pada perguruan tinggi yang 
    baru.
 
Pasal 9
 
Persyaratan minimal yang berkenaan dengan jumlah dan kualifikasi 
dosen, program studi, jumlah dan kualifikasi tenaga administrasi dan 
penunjang akademik tercantum dalam Lampiran angka 1, 2 dan 3 
Keputusan ini. 
 
Pasal 10 
 
Untuk setiap program studi pada Program Diploma dan Program S1 jumlah 
calon mahasiswa sekurang-kurangnya 30 orang dan sebanyak-banyaknya 
disesuaikan dengan nisbah dosen tetap dengan mahasiswa, untuk 
kelompok bidang ilmu pengetahuan sosial 1 : 30 dan untuk kelompok 
bidang ilmu pengetahuan alam 1 : 20.
 
Pasal 11
 
Sumber pembiayaan perguruan tinggi disediakan oleh penyelenggara 
perguruan tinggi yang bersangkutan untuk menjamin kelancaran 
penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai dengan peranan, tugas dan 
fungsi perguruan tinggi. 
 
Pasal 12
 
(1) Tanah tempat mendirikan perguruan tinggi dimiliki dengan bukti 
    sertifikat sendiri atau disewa/kontrak untuk sekurang-kurangnya 
    20 (dua puluh) tahun dengan hak opsi, yang dinyatakan dalam 
    perjanjian.
(2) Sarana dan prasarana lainnya dimiliki sendiri atau disewa/kontrak 
    untuk sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang dibuktikan dengan 
    sertifikat atau perjanjian meliputi fasilitas fisik pendidikan 
    dengan ketentuan minimal:
    a. Ruang kuliah : 0.5 m2 per mahasiswa; 
    b. Ruang dosen tetap : 4 m2 per orang
    c. Ruang administrasi dan kantor 4 m2 per orang;
    d. Ruang perpustakaan dengan buku pustaka:
       1. Program Diploma dan Program S1 
          a. buku mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) 1 judul. 
             per-mata kuliah; 
          b. buku mata kuliah ketrampilan dan keahlian (MKK) 2 judul 
             per-mata kuliah;
          c. jumlah buku sekurang-kurangnya 10% dari jumlah mahasiswa 
             dengan memperhatikan komposisi jenis judul; 
          d. berlangganan jurnal ilmiah sekurang-kurangnya 1 judul 
             untuk setiap program studi;
       2. Program S2 untuk setiap program studi : 500 judul buku dan 
          berlangganan  minimal dua jurnal ilmiah yang terakreditasi 
          pada bidang studi yang relevan;
    e. Ruang laboratorium dan unit komputer serta sarana untuk 
       praktikum dan/atau penelitian sesuai dengan ketentuan yang 
       diatur oleh Direktur Jenderal;
(3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sekurang-
    kurangnya memenuhi persyaratan minimal yang tercantum dalam 
    Lampiran angka 4 Keputusan ini.
 
Pasal 13
 
Penyelenggara perguruan tinggi terdiri atas Departemen Pendidikan 
Nasional, Departemen lain atau LPND bagi PTN atau PTK dan BP-PTS bagi 
PTS.
 
Pasal 14
 
Pendirian perguruan tinggi di lingkungan Departemen Agama selain 
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan 
Pasal 12 juga memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
 
Pasal 15
 
(1) Persyaratan pendirian PTS oleh BP-PTS selain tercantum dalam Pasal 
    4 sampai dengan Pasal 12 meliputi pula persyaratan
      a. BP-PTS tercatat pada Pengadilan Negeri setempat;
      b. Ada jaminan tersedianya dana yang cukup untuk
         1. penyelenggaraan program pendidikan selama empat tahun bagi 
            akademi dan politeknik;
         2. Penyelenggaraan program pendidikan selama enam tahun bagi 
            sekolah tinggi, institut dan universitas.
(2) Pendirian PTS oleh BP-PTS dengan partisipasi asing, selain harus 
    memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus 
    memenuhi persyaratan
    a. Adanya bauran nasional dan asing dalam kepengurusan BP-PTS;
    b. Adanya dukungan dari perguruan tinggi di luar negeri yang sudah 
       akreditasi di negaranya dalarn bentuk :
       1. dukungan manajemen, yaitu dukungan operasi pengelolaan bidang 
          akademik dan administrasi terhadap PTS yang akan didirikan; 
       2. dukungan dosen, dengan menempatkan dosen yang berpengalaman 
          dari perguruan tinggi induk di luar negeri sekurang-kurangnya 
          7 (tujuh) tahun untuk program sarjana/pasca sarjana dan 5 
          (lima) tahun untuk program diploma.
 
Pasal 16
 
Persyaratan Pendirian PTK selain tercantum dalam Pasal 4 sampai dengan 
Pasal 12 meliputi pula persyaratan
 
a. menghasilkan lulusan yang jumlah dan/atau kualifikasinya belum dapat 
   dipenuhi oleh PTN dan PTS;
b. mahasiswa berasal dan pegawai pada Departemen/LPND yang bersangkutan 
   atau penugasan dari Departemen/LPND lain atau semua lulusannya 
   diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Departemen/LPND yang 
   bersangkutan;
c. PTK berbentuk akademi, politeknik atau sekolah tinggi.
 
Pasal 17
 
Persyaratan perubahan bentuk perguruan tinggi sama dengan persyaratan 
pendirian perguruan tinggi, dengan ketentuan: 
a. Bagi Perguruan tinggi negeri, telah meluluskan sekurang-kurangnya 
   10 (sepuluh) angkatan;
b. Bagi PTK telah meluluskan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) angkatan, 
   dan tidak berkembang menjadi bentuk institut/universitas;
c. Bagi PTS telah meluluskan sekurang-kurangnya 5 (lima) angkatan 
   dengan ketentuan semua ujian yang diselenggarakan dalam satu tahun 
   akademik dihitung sebagai 1(satu) angkatan ujian.
 
Pasal 18
 
(1) Penambahan/perubahan/penutupan fakultas pada PTN ditetapkan oleh 
    Menteri setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang 
    menangani pendayagunaan aparatur negara.
(2) Penambahan/perubahan/penutupan fakultas pada PTS ditetapkan oleh 
    BP-PTS dan dilaporkan kepada Menteri.
(3) Penambahan/perubahan/penutupan jurusan/bagian dan program studi 
    pada PTN ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
(4) Penambahan/perubahan/penutupan program studi pada PTK ditetapkan 
    oleh Menteri lain atau pimpinan LPND setelah mendapat persetujuan 
    Direktur Jenderal.
(5) Penambahan/perubahan/penutupan program studi pada PTS ditetapkan 
    oleh BP-PTS setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal.
 
 
BAB III
 
TATA CARA
 
Pasal 19
 
Tata cara pendirian perguruan tinggi meliputi :
1. Usul pendirian untuk dipertimbangkan;
2. Pemberian pertimbangan
3. Pengajuan usul persetujuan pendirian; .
4. Pemberian persetujuan;
5. Penetapan pendirian; 
6. Penetapan statuta.
 
Pasal 20
 
(1) Usul pendirian Perguruan Tinggi oleh pemrakarsa disampaikan 
    kepada Direktur Jenderal bagi PTN, PTS dan PTK.
(2) Semua usulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi 
    dengan melampirkan persyaratan pendirian perguruan tinggi dan 
    hasil studi kelayakan sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 6.
 
Pasal 21
 
(1) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, Direktur 
    Jenderal memberi pertimbangan kepada pemrakarsa tentang 
    kemungkinan persetujuan atau penolakan pendirian perguruan tinggi.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas:
    a. Pemenuhan persyaratan pendirian perguruan tinggi.
    b. pengembangan dan keseimbangan kelompok disiplin ilmu 
       pengetahuan, teknologi dan kesenian dengan mempercepat 
       pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan penerapannya.
    c. pengembangan peta pendidikan di suatu wilayah yang menggambarkan 
       jumlah dan bentuk perguruan tinggi yang sudah ada, jenis program 
       studi yang diselenggarakan, sebaran lembaga dan daya dukung 
       wilayah yang bersangkutan.
    d. Pengembangan bidang ilmu yang strategis, dengan membatasi bidang 
       ilmu yang telah dianggap mencukupi kebutuhan pembangunan.
 
Pasal 22
 
(1) Selambat-lambatnya dalam jangka~ waktu 3 (tiga) tahun setelah 
    pertimbangan Direktur Jenderal yang memungkinkan pendirian 
    perguruan tinggi, pemrakarsa telah mengajukan usul persetujuan 
    pendirian dengan ketentuan telah memenuhi persyaratan sebagaimana 
    dimaksud dalarn Pasal 4 sarnpai dengan Pasal 17
 
(2) Usul persetujuan pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) 
    diajukan kepada:
a. Menteri, Menteri lain atau pimpinan LPND bagi PTN dan PTK melalui 
   Direktur Jenderal;
b. Menteri melalui Direktur Jenderal bagi PTS dengan melampirkan:
   1. Referensi Bank dan bukti lain berkenaan dengan dana 
      penyelenggaran PTS;
   2. Akte Notaris Pendirian BP-PTS;
   3. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PTS;
   4. Surat Keterangan tidak terlibat pelanggaran hukum bagi pengurus 
      BP-PTS;
   5. Sertifikat atau perjanjian/sewa kontrak tanah dan prasarana 
      fisik lainnya.
 
Pasal 23
 
(1) Atas dasar usul persetujuan pendirian sebagaimana dimaksud 
    Pasal 22:
    a. Menteri mengajukan usul persetujuan pendirian PTN kepada 
       Menteri yang menangani pendayagunaan aparatur negara dan Menteri 
       Keuangan;
    b. Menteri memberi atau menolak memberi rekomendasi pendirian PTK.
    c. Direktur Jenderal atas narna Menteri memberi atau menolak 
       memberi persetujuan pendirian PTS.
 
(2) Atas dasar rekomendasi Menteri, Menteri lain atau pimpinan LPND 
    mengajukan usul persetujuan pendirian PTK kepada Menteri yang 
    menangani pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Keuangan.
 
Pasal 24
 
(1) Atas dasar persetujuan yang diberikan oleh Menteri, yang menangani 
    pendayagunaan aparatur negara dan Menteri Keuangan. Menteri:
    a. menetapkan pendirian PTN yang berbentuk akademi atau politeknik;
    b. mengajukan usul penetapan pendirian PTN yang berbentuk 
       universitas, institut atau sekolah tinggi kepada Presiden;
(2). Atas dasar persetujuan yang diberikan oleh Menteri Negara 
     Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Keuangan, Menteri lain 
     atau pimpinan LPND:
     a. menetapkan pendirian PTK yang berbentuk akademi atau 
        politeknik;
     b. mengajukan usul penetapan pendirian PTK yang berbentuk sekolah
        tinggi kepada Presiden melalui Menteri;
        
Pasal 25
 
(1) Setelah ada ketetapan pendirian PTN atau PTK oleh Menteri, Menteri 
    lain, pimpinan LPND atau Presiden sebagaimana dimaksud dalam 
    Pasal 24, PTN dan PTK mengusulkan statuta perguruan tinggi yang 
    bersangkutan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal, Menteri 
    lain atau pimpinan LPND untuk ditetapkan dengan keputusan.
(2) Setelah ada ketetapan pendirian PTS, BP-PTS menetapkan statuta PTS
    yang bersangkutan atas usul senat.
 
Pasal 26
 
Setelah statuta ditetapkan, perguruan tinggi yang bersangkutan baru 
dapat menyelenggarakan kegiatannya.
 
Pasal 27
 
Tata cara pendirian perguruan tinggi di lingkungan Departemen Agama 
yang program studinya di luar bidang agama berlaku tata cara ketentuan 
pendirian PTK.
 
Pasal 28
 
Tata cara perubahan bentuk perguruan tinggi dan penambahan program 
studi berlaku tata cara pendirian perguruan tinggi yang diatur dalam 
keputusan ini.
 
BAB IV
 
PELAPORAN
 
Pasal 29
 
Perguruan tinggi wajib menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai 
keadaan sumber daya perguruan tinggi sebagaimana dipersyaratkan dalam 
Lampiran angka 1, 2, 3 dan 4 keputusan ini dengan disertai bukti-
bukti selambat-lambatnya setiap akhir tahun akademik.
 
 
BAB V
 
PEMBINAAN
 
Pasal 30
 
Menteri melakukan pembinaan perguruan tinggi yang dapat berupa:
a. peningkatan bantuan penyediaan sumberdaya;
b. pengurangan atau penghentian bantuan penyediaan sumberdaya bagi 
   program-program tertentu;
c. penghentian pelaksanaan program-program tertentu;
d. penangguhan untuk sementara otonomi pengelolaan perguruan tinggi 
   yang bersangkutan;
e. pembinaan lainnya yang dipandang perlu; atau
f. penutupan perguruan tinggi.
 
BAB VI
 
KETENTUAN LAIN
 
Pasal 3l
 
Program pendidikan tinggi yang memberikan gelar akademik dan sebutan 
profesional hanya dapat diselenggarakan pada perguruan tinggi yang 
memenuhi persyaratan yang diatur dalam Keputusan ini.
 
Pasal 32
 
Perguruan tinggi atau lembaga asing dapat melaksanakan kegiatan 
pendidikan di Indonesia melalui kerjasama dengan mitra kerja di 
Indonesia, baik dengan perguruan tinggi yang sudah ada atau secara 
bersama mendirikan perguruan tinggi baru dengan persyaratan tersebut 
dalam Pasal 15.
 
 
BAB VII
 
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 33
 
Dengan berlakunya keputusan ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan 
Kebudayaan Nomor 0222/U/1998 tentang Pedoman Pendirian Perguruan 
Tinggi dan semua ketentuan yang bertentangan dengan Keputusan ini 
dinyatakan tidak berlaku.
 
Pasal 34
 
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
 
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2000
 
MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
 
 
TTD
 
YAHYA A. MUHAIMIN
 
 
SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada:
 
 1. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional,
 2. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan Nasional,
 3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Departemen
    Pendidikan Nasional,
 4. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan 
    Nasional,
 5. Semua Rektor Universitas/Institut, Ketua Sekolah Tinggi, 
    Direktur Politeknik/Akaderni, di lingkungan Departemen Pendidikan 
    Nasional,
 6. Sekretaris Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal, Badan 
    Penelitian dan Pengembangan Pendidikan di lingkungan Departemen 
    Pendidikan Nasional,
 7. Semua Kepala Biro, Direktur, Kepala Pusat, dan Inspektur dalam
    lingkungan Departernen Pendidikan Nasional,
 8. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta,
 9. Semua Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,
10. Komisi VI DPR-RI,



Rabu, 26 Juni 2013

BANTAHAN KPU 4 LAWANG DAN SERANGAN BALIK PASANGAN JONLI


Bantahan KPU dan Jawaban Pasangan Jonli.
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pemeriksaan perselisihan hasil Pemilukada Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, Rabu (26/06/2013). Persidangan kali kedua untuk perkara Nomor 71/PHPU.D-XI/2013, beragendakan mendengar jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Empat Lawang (Termohon), mendengar keterangan Pihak Terkait, dan Pembuktian. Permohonan Nomor 71/PHPU.D-XI/2013 ini diajukan oleh pasangan Nomor Urut 1, H. Budi Antoni Aljufri-H.Syahrial Hanafiah (Berhasil). Budi Antoni Aljufri merupakan petahana Bupati Empat Lawang.
Kepada Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK M. Akil Mochtar, KPU Empat Lawang dalam eksepsinya yang disampaikan kuasa hukumnya, Fajri Safi’i, menyatakan MK tidak berwenang menangani perkara tersebut. Sebab, apa yang didalikan oleh pasangan Berhasil, merupakan kasus pidana yang seharusnya diselesaikan di pengadilan umum.
Lebih lanjut Fajri menilai uraian dalil pasangan Berhasil tidak jelas dan kabur, karena tidak menjelaskan di TPS mana dan berapa jumlah selisih suara antara perhitungan versi pasangan Berhasil dan KPU Empat Lawang. “Pemohon tidak jelas menguraikan kesalahan-kesalahan di mana terjadinya perselisihan suara tersebut, misalnya TPS mana, selisih suaranya berapa?” kata Fajri Safi’i, kuasa hukum KPU Empat Lawang.
Selain itu dalam pokok perkara, Fajri menyatakan menolak seluruh dalil pasangan Berhasil, karena apa yang dilakukan KPU telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Fajri, dalil-dalil Pemohon tentang adanya pemaksaan yang dilakukan KPU Empat Lawang dalam rekapitulasi suara di Kecamatan Muara Pinang itu tidak benar. Sebab fakta di lapangan menunjukkan tidak adanya kejadian-kejadian yang menghalangi proses rekapitulasi di Kecamatan Muara Pinang. Hal ini berdasarkan dokumen mengenai tidak adanya keberatan dari para saksi, dan dokumen dari Panitia Pengawas (Panwas).
Dalam jawabannya KPU Empat Lawang  menegaskan telah melaksanakan tugas sesuai asas jujur, adil dan mandiri, dalam melakukan rekapitulasi penghitungan suara. Menurut KPU Empat Lawang, pasangan Berhasil (Pemohon) tidak mampu menunjukkan adanya perbedaan penghitungan suara, dan dimana terjadinya selisih suara. Pemohon juga dinilai tidak dapat mengungkapkan saksi pasangan mana yang tidak mendapat salinan rekapitulasi penghitungan suara.
Ditegaskan Fajri, Salinan rekapitulasi penghitungan suara di tingkat TPS sudah diberikan seluruhnya kepada para saksi dalam rapat pleno tingkat kabupaten. Lebih lanjut, KPU Empat Lawang membantah tuduhan Pemohon yang menyatakan penghitungan suara yang dilakukan KPU dihasilkan dari data yang tidak benar. Sebab, faktanya, sejak awal data yang diajukan oleh pemohon justru berubah-ubah dan tidak konsisten mulai dari awal permohonan hingga pada perbaikan permohonan.
Sementara, pasangan nomor urut 2, Joncik Muhammad-Ali Halimi (Pasangan Jon-Li) selaku Pihak Terkait perkara sengketa Pemilukada Empat Lawang, dalam eksepsinya menyatakan permohonan yang diajukan pasangan Berhasil adalah kabur. Selain itu, pasangan Jon-Li menilai permohonan telah melewati tenggat waktu, karena apa yang disampaikan dalam sidang sebelumnya merupakan perubahan permohonan yang jauh berbeda dengan permohonan yang telah didaftarkan pada 17/06/2013.
Selanjutnya dalam pokok perkara, kuasa hukum pasangan Jon-Li, Indra Cahaya menegaskan bahwa pasangan Jon-Li merupakan warga sipil biasa yang tidak memiliki kekuasaan, sabagaimana pasangan Berhasil, selaku petahana Bupati Empat Lawang yang potensial melakukan pengerahan massa.  Menurut Indra, justru sebaliknya pasangan Berhasil yang telah melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif, yang dapat dibuktikan dengan adanya laporan ke Panwas. Misalnya pengerahan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mengumpulkan uang untuk kepentingan pasangan Berhasil.
Selain mendengarkan jawaban KPU Empat Lawang dan tanggapan Pihak Terkait, dalam sidang kali ini Majelis Hakim Konstitusi juga melakukan pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan pemohon. Saksi pada pokoknya menjelaskan adanya pelanggaran yang dilakukan KPU Empat Lawang dengan cara tidak membagikan salinan hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), tingkat kelurahan dan tingkat kecamatan, sehingga pemohon tidak memiliki acuan dalam mengikuti proses rapat pleno rekapitulasi tingkat kabupaten.
Sidang berikutnya akan dilaksanakan pada hari Kamis, 27/06/2013, untuk mendengarkan keterangan saksi yang diajukan KPU Empat Lawang dan pasangan Jon-Li. (Ilham/NRA)

Selasa, 25 Juni 2013

GUGATAN HASIL PILKADA EMPAT LAWANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI



Hasil Pemilukada Kabupaten Empat Lawang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara dengan Nomor 71/PHPU.D-XI/2013 ini dipimpin oleh Ketua MK M. Akil Mochtar pada Selasa (26/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasangan nomor urut 1, yakni Budi Antoni Aljufri-Syahri (Pasangan ‘BERHASIL’) menjadi Pemohon perkara ini. Dalam pokok permohonannya, Pemohon mengajukan empat dalil terkait pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Empat Lawang sebagai Termohon dan juga pasangan nomor urut 2, yakni Joncik Muhammad dan Ali Halimi (Pasangan ‘JONLI’). Menurut pemohon, selisih jumlah 997 suara yang memengaruhi kemenangan JONLI seharusnya menjadi suara milik Pemohon. “Perbedaan 977 suara itu seharusnya milik Pemohon. Namun KPU (Kabupaten Empat Lawang) dan Pihak Terkait (Pasangan JONLI) melakukan kecurangan dan pelanggaran,” jelasnya.
Pemohon mendalilkan empat pelanggaran yang diilakukan KPU Kabupaten Empat Lawang dan Pihak Terkait yang menyebabkan hilangnya sejumlah 977 suara Pemohon. Keempat pelanggaran tersebut di antaranya penambahan suara terhadap Pihak Terkait dan pengurangan suara Pemohon. Pengurangan suara yang terjadi di empat desa. “Pengurangan suara tersebut berpengaruh terhadap jumlah suara Pemohon,” ujar Pemohon yang diwakili oleh Sirra Prayuna, dkk.
Selain itu, pelanggaran lain yang terjadi yaitu adanya penambahan jumlah suara di Kecamatan Muara Pinang terhadap suara milik Pihak Terkait oleh PPK Kecamatan Muara Pinang. Tak hanya itu, Pihak Terkait juga dinilai melakukan intimidasi dengan melakukan pembacokan dan lainnya. “Untuk itulah, Pemohon meminta agar MK membatalkan surat keputusan KPU Kabupaten Empat Lawang mengenai penetapan bupati dan wakil bupati terpilih Kabupaten Empat Lawang,” paparnya.
Sidang berikutnya akan digelar pada Rabu, 26 Juni 2013 pada pukul 08.00 WIB. Pada sidang esok hari, mengagendakan mendengar jawaban KPU Kabupaten Empat Lawang dan Pihak Terkait serta pembuktian.

Selasa, 23 April 2013

KETIDAKSESUAIAN KEBIJAKAN UJIAN AKHIR NASIONAL DENGAN UNDANG-UNDANG SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003

A.  Latar Belakang Masalah
 Pendidikan merupakan salah satu bidang pembangunan yang penting di setiap negara. Menurut Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu evaluasi pendidikan yang merupakan kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan pendidikan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali. Salah satu contoh adalah Ujian Akhir Nasional (UAN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah.
Padahal, menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Sedangkan, pada UU tersebut pasal 58 ayat (1) menjelaskan bahwa Evaluasi  hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dan, pada ayat (2) menjelaskan bahwa Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Dengan demikian, pemerintah tidak berhak menentukan UAN sebagai alat evaluasi pendidikan, melainkan pendidik yang mempunyai kewenangan untuk menilai peserta didiknya. Hal ini juga terdapat pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pealtihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan kewenangan kepada pendidik untuk menilai peserta didiknya dalam masalah kelulusan.
Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Hal ini sangat bertentangan dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 36 ayat (2) menjelaskan bahwa Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Artinya, bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing.
Dengan demikian, UAN dalam implementasinya mengalami krisis kebijakan dimana faktor penyebab krisis dapat ditinjau dari berbagai dimensi sebagai contoh sederhana krisis tersebut dapat terjadi karena kekurangan dalam proses perumusan kebijakan dan programnya, kekeliruan dalam proses perencanaan, penyimpangan dalam pelaksanaan, kelemahan dalam penentuan anggaran atau bahkan pada saat pengawasan dan pelaporan.
B.  Upaya Pemerintah
  1. Merevisi kembali kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004
  2. Menghubungkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
  3. Menghubungkan kebijakan (UAN) yang dikeluarkan dengan kurikulum yang digunakan, apakah sudah sesuai atau belum.
C.  Rumusan Pokok Masalah
  1. Tidak sesuainya tujuan evaluasi pendidikan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.
  2. Penyelenggaraan UAN tidak sesuai dengan kurikulum yang diselenggarakan pada setiap daerah yang telah berlaku sistem otonomi daerah.
  3. Dalam evaluasi pendidikan terutama yang berkaitan dengan peserta didik seharusnya adalah pendidik itu sendiri, bukan pemerintah yang mengeluarkan kebijakan tentang UAN sebagai bentuk evaluasi pendidikan terhadap peserta didik.
D.  Salah satu rumusan alternative beserta rasionalnya
Pemerintah seharusnya merevisi kembali perumusan kebijakan tentang UAN.
  • Kebijakan tersebut sudah jelas bertentangan dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.
  • Kebijakan tersebut juga bertentangan dengan Otonomi Daerah.
E.  Potensi alternative
Sebagian besar masyarakat pada umumnya menyatakan pro jika alternatif tersebut dilakukan. Karena pada mulanya, pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) berakibat buruk terhadap anak-anaknya jika saja pada ujian tersebut anak-anak mereka tidak lulus maka anak-anak mereka menjadi frustasi dan kemungkinan anak-anak mereka tidak dapat melanjutkan ke sekolah selanjutnya maupun ke perguruan tinggi. Hal ini juga dapat mengakibatkan kekacauan pada lingkungan masyarakat pada saat pengumuman kelulusan, peserta didik akan merayakan kelulusannya dengan berfoya-foya atau bersepeda di jalan tanpa menghiraukan peraturan yang ada sebagai apresiasi bahwa mereka lulus dalam UAN yang selama ini menjadi “momok” bagi seluruh peserta didik. Dengan demikian, perlu sekali mengadakan revisi kembali tentang kebijakan UAN yang dikeluarkan pemerintah sebagai alat evaluasi pendidikan, yang kenyataannya hanya sebagai alat untuk “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan.
F.   Limitasi alternative
Jika alternative tersebut tetap dijalankan, maka resiko yang berdampak baik yaitu tidak ada lagi pelaksanaan UAN di sekolah-sekolah yang menjadi “momok” bagi peserta didik dan dampak buruknya pemerintah tidak dapat mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik selama mendapatkan pembelajaran dari pendidik di sekolahnya secara umum sehingga pemerintah tidak dapat memberikan balikan kepada sekolah yang sekiranya belum mencapai target yang ditentukan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan UAN.
G.  Rekomendasi kebijakan
Pemerintah dan negara harus memilih diantara dua pilihan, yaitu:
  1. Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN, dengan resiko perdebatan dan ketidakadilan akan terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda. Selain itu salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Memperlakukan semua anak dengan memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.
  2. Pemerintah menghapuskan UAN, dengan resiko evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya disamping lulus juga diterima di sekolah berikutnya. Selain itu sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah juga diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan petunjuk bagi guru agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaidah-kaidah evaluasi yang berlaku secara umum.
H.  Rekomendasi yang dipilih
  1. Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN dengan segala resikonya, atau
  2. Pemerintah menghapuskan UAN, dengan resiko evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah.
  3. Mengambil jalan tengah, yaitu pelaksanaan UAN tetap dilakukan tetapi bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik melainkan hanya digunakan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik selama mendapatkan pembelajaran dari pendidik di sekolahnya secara umum. Jadi, peserta didik tidak perlu takut lagi jika tidak lulus ujian tersebut, karena kelulusan dilakukan sepenuhnya oleh pendidik di sekolah.