Rabu, 26 Juni 2013

BANTAHAN KPU 4 LAWANG DAN SERANGAN BALIK PASANGAN JONLI


Bantahan KPU dan Jawaban Pasangan Jonli.
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pemeriksaan perselisihan hasil Pemilukada Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, Rabu (26/06/2013). Persidangan kali kedua untuk perkara Nomor 71/PHPU.D-XI/2013, beragendakan mendengar jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Empat Lawang (Termohon), mendengar keterangan Pihak Terkait, dan Pembuktian. Permohonan Nomor 71/PHPU.D-XI/2013 ini diajukan oleh pasangan Nomor Urut 1, H. Budi Antoni Aljufri-H.Syahrial Hanafiah (Berhasil). Budi Antoni Aljufri merupakan petahana Bupati Empat Lawang.
Kepada Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK M. Akil Mochtar, KPU Empat Lawang dalam eksepsinya yang disampaikan kuasa hukumnya, Fajri Safi’i, menyatakan MK tidak berwenang menangani perkara tersebut. Sebab, apa yang didalikan oleh pasangan Berhasil, merupakan kasus pidana yang seharusnya diselesaikan di pengadilan umum.
Lebih lanjut Fajri menilai uraian dalil pasangan Berhasil tidak jelas dan kabur, karena tidak menjelaskan di TPS mana dan berapa jumlah selisih suara antara perhitungan versi pasangan Berhasil dan KPU Empat Lawang. “Pemohon tidak jelas menguraikan kesalahan-kesalahan di mana terjadinya perselisihan suara tersebut, misalnya TPS mana, selisih suaranya berapa?” kata Fajri Safi’i, kuasa hukum KPU Empat Lawang.
Selain itu dalam pokok perkara, Fajri menyatakan menolak seluruh dalil pasangan Berhasil, karena apa yang dilakukan KPU telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Fajri, dalil-dalil Pemohon tentang adanya pemaksaan yang dilakukan KPU Empat Lawang dalam rekapitulasi suara di Kecamatan Muara Pinang itu tidak benar. Sebab fakta di lapangan menunjukkan tidak adanya kejadian-kejadian yang menghalangi proses rekapitulasi di Kecamatan Muara Pinang. Hal ini berdasarkan dokumen mengenai tidak adanya keberatan dari para saksi, dan dokumen dari Panitia Pengawas (Panwas).
Dalam jawabannya KPU Empat Lawang  menegaskan telah melaksanakan tugas sesuai asas jujur, adil dan mandiri, dalam melakukan rekapitulasi penghitungan suara. Menurut KPU Empat Lawang, pasangan Berhasil (Pemohon) tidak mampu menunjukkan adanya perbedaan penghitungan suara, dan dimana terjadinya selisih suara. Pemohon juga dinilai tidak dapat mengungkapkan saksi pasangan mana yang tidak mendapat salinan rekapitulasi penghitungan suara.
Ditegaskan Fajri, Salinan rekapitulasi penghitungan suara di tingkat TPS sudah diberikan seluruhnya kepada para saksi dalam rapat pleno tingkat kabupaten. Lebih lanjut, KPU Empat Lawang membantah tuduhan Pemohon yang menyatakan penghitungan suara yang dilakukan KPU dihasilkan dari data yang tidak benar. Sebab, faktanya, sejak awal data yang diajukan oleh pemohon justru berubah-ubah dan tidak konsisten mulai dari awal permohonan hingga pada perbaikan permohonan.
Sementara, pasangan nomor urut 2, Joncik Muhammad-Ali Halimi (Pasangan Jon-Li) selaku Pihak Terkait perkara sengketa Pemilukada Empat Lawang, dalam eksepsinya menyatakan permohonan yang diajukan pasangan Berhasil adalah kabur. Selain itu, pasangan Jon-Li menilai permohonan telah melewati tenggat waktu, karena apa yang disampaikan dalam sidang sebelumnya merupakan perubahan permohonan yang jauh berbeda dengan permohonan yang telah didaftarkan pada 17/06/2013.
Selanjutnya dalam pokok perkara, kuasa hukum pasangan Jon-Li, Indra Cahaya menegaskan bahwa pasangan Jon-Li merupakan warga sipil biasa yang tidak memiliki kekuasaan, sabagaimana pasangan Berhasil, selaku petahana Bupati Empat Lawang yang potensial melakukan pengerahan massa.  Menurut Indra, justru sebaliknya pasangan Berhasil yang telah melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif, yang dapat dibuktikan dengan adanya laporan ke Panwas. Misalnya pengerahan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mengumpulkan uang untuk kepentingan pasangan Berhasil.
Selain mendengarkan jawaban KPU Empat Lawang dan tanggapan Pihak Terkait, dalam sidang kali ini Majelis Hakim Konstitusi juga melakukan pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan pemohon. Saksi pada pokoknya menjelaskan adanya pelanggaran yang dilakukan KPU Empat Lawang dengan cara tidak membagikan salinan hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), tingkat kelurahan dan tingkat kecamatan, sehingga pemohon tidak memiliki acuan dalam mengikuti proses rapat pleno rekapitulasi tingkat kabupaten.
Sidang berikutnya akan dilaksanakan pada hari Kamis, 27/06/2013, untuk mendengarkan keterangan saksi yang diajukan KPU Empat Lawang dan pasangan Jon-Li. (Ilham/NRA)

Selasa, 25 Juni 2013

GUGATAN HASIL PILKADA EMPAT LAWANG DI MAHKAMAH KONSTITUSI



Hasil Pemilukada Kabupaten Empat Lawang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara dengan Nomor 71/PHPU.D-XI/2013 ini dipimpin oleh Ketua MK M. Akil Mochtar pada Selasa (26/6) di Ruang Sidang Pleno MK.
Pasangan nomor urut 1, yakni Budi Antoni Aljufri-Syahri (Pasangan ‘BERHASIL’) menjadi Pemohon perkara ini. Dalam pokok permohonannya, Pemohon mengajukan empat dalil terkait pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Empat Lawang sebagai Termohon dan juga pasangan nomor urut 2, yakni Joncik Muhammad dan Ali Halimi (Pasangan ‘JONLI’). Menurut pemohon, selisih jumlah 997 suara yang memengaruhi kemenangan JONLI seharusnya menjadi suara milik Pemohon. “Perbedaan 977 suara itu seharusnya milik Pemohon. Namun KPU (Kabupaten Empat Lawang) dan Pihak Terkait (Pasangan JONLI) melakukan kecurangan dan pelanggaran,” jelasnya.
Pemohon mendalilkan empat pelanggaran yang diilakukan KPU Kabupaten Empat Lawang dan Pihak Terkait yang menyebabkan hilangnya sejumlah 977 suara Pemohon. Keempat pelanggaran tersebut di antaranya penambahan suara terhadap Pihak Terkait dan pengurangan suara Pemohon. Pengurangan suara yang terjadi di empat desa. “Pengurangan suara tersebut berpengaruh terhadap jumlah suara Pemohon,” ujar Pemohon yang diwakili oleh Sirra Prayuna, dkk.
Selain itu, pelanggaran lain yang terjadi yaitu adanya penambahan jumlah suara di Kecamatan Muara Pinang terhadap suara milik Pihak Terkait oleh PPK Kecamatan Muara Pinang. Tak hanya itu, Pihak Terkait juga dinilai melakukan intimidasi dengan melakukan pembacokan dan lainnya. “Untuk itulah, Pemohon meminta agar MK membatalkan surat keputusan KPU Kabupaten Empat Lawang mengenai penetapan bupati dan wakil bupati terpilih Kabupaten Empat Lawang,” paparnya.
Sidang berikutnya akan digelar pada Rabu, 26 Juni 2013 pada pukul 08.00 WIB. Pada sidang esok hari, mengagendakan mendengar jawaban KPU Kabupaten Empat Lawang dan Pihak Terkait serta pembuktian.

Selasa, 23 April 2013

KETIDAKSESUAIAN KEBIJAKAN UJIAN AKHIR NASIONAL DENGAN UNDANG-UNDANG SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003

A.  Latar Belakang Masalah
 Pendidikan merupakan salah satu bidang pembangunan yang penting di setiap negara. Menurut Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu evaluasi pendidikan yang merupakan kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan pendidikan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali. Salah satu contoh adalah Ujian Akhir Nasional (UAN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah.
Padahal, menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Sedangkan, pada UU tersebut pasal 58 ayat (1) menjelaskan bahwa Evaluasi  hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dan, pada ayat (2) menjelaskan bahwa Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Dengan demikian, pemerintah tidak berhak menentukan UAN sebagai alat evaluasi pendidikan, melainkan pendidik yang mempunyai kewenangan untuk menilai peserta didiknya. Hal ini juga terdapat pada UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 39 ayat (2) menyebutkan bahwa Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pealtihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan kewenangan kepada pendidik untuk menilai peserta didiknya dalam masalah kelulusan.
Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Hal ini sangat bertentangan dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 36 ayat (2) menjelaskan bahwa Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Artinya, bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing.
Dengan demikian, UAN dalam implementasinya mengalami krisis kebijakan dimana faktor penyebab krisis dapat ditinjau dari berbagai dimensi sebagai contoh sederhana krisis tersebut dapat terjadi karena kekurangan dalam proses perumusan kebijakan dan programnya, kekeliruan dalam proses perencanaan, penyimpangan dalam pelaksanaan, kelemahan dalam penentuan anggaran atau bahkan pada saat pengawasan dan pelaporan.
B.  Upaya Pemerintah
  1. Merevisi kembali kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004
  2. Menghubungkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003
  3. Menghubungkan kebijakan (UAN) yang dikeluarkan dengan kurikulum yang digunakan, apakah sudah sesuai atau belum.
C.  Rumusan Pokok Masalah
  1. Tidak sesuainya tujuan evaluasi pendidikan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.
  2. Penyelenggaraan UAN tidak sesuai dengan kurikulum yang diselenggarakan pada setiap daerah yang telah berlaku sistem otonomi daerah.
  3. Dalam evaluasi pendidikan terutama yang berkaitan dengan peserta didik seharusnya adalah pendidik itu sendiri, bukan pemerintah yang mengeluarkan kebijakan tentang UAN sebagai bentuk evaluasi pendidikan terhadap peserta didik.
D.  Salah satu rumusan alternative beserta rasionalnya
Pemerintah seharusnya merevisi kembali perumusan kebijakan tentang UAN.
  • Kebijakan tersebut sudah jelas bertentangan dengan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003.
  • Kebijakan tersebut juga bertentangan dengan Otonomi Daerah.
E.  Potensi alternative
Sebagian besar masyarakat pada umumnya menyatakan pro jika alternatif tersebut dilakukan. Karena pada mulanya, pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) berakibat buruk terhadap anak-anaknya jika saja pada ujian tersebut anak-anak mereka tidak lulus maka anak-anak mereka menjadi frustasi dan kemungkinan anak-anak mereka tidak dapat melanjutkan ke sekolah selanjutnya maupun ke perguruan tinggi. Hal ini juga dapat mengakibatkan kekacauan pada lingkungan masyarakat pada saat pengumuman kelulusan, peserta didik akan merayakan kelulusannya dengan berfoya-foya atau bersepeda di jalan tanpa menghiraukan peraturan yang ada sebagai apresiasi bahwa mereka lulus dalam UAN yang selama ini menjadi “momok” bagi seluruh peserta didik. Dengan demikian, perlu sekali mengadakan revisi kembali tentang kebijakan UAN yang dikeluarkan pemerintah sebagai alat evaluasi pendidikan, yang kenyataannya hanya sebagai alat untuk “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan.
F.   Limitasi alternative
Jika alternative tersebut tetap dijalankan, maka resiko yang berdampak baik yaitu tidak ada lagi pelaksanaan UAN di sekolah-sekolah yang menjadi “momok” bagi peserta didik dan dampak buruknya pemerintah tidak dapat mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik selama mendapatkan pembelajaran dari pendidik di sekolahnya secara umum sehingga pemerintah tidak dapat memberikan balikan kepada sekolah yang sekiranya belum mencapai target yang ditentukan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan UAN.
G.  Rekomendasi kebijakan
Pemerintah dan negara harus memilih diantara dua pilihan, yaitu:
  1. Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN, dengan resiko perdebatan dan ketidakadilan akan terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda. Selain itu salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Memperlakukan semua anak dengan memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.
  2. Pemerintah menghapuskan UAN, dengan resiko evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya disamping lulus juga diterima di sekolah berikutnya. Selain itu sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah juga diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan petunjuk bagi guru agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaidah-kaidah evaluasi yang berlaku secara umum.
H.  Rekomendasi yang dipilih
  1. Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN dengan segala resikonya, atau
  2. Pemerintah menghapuskan UAN, dengan resiko evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah.
  3. Mengambil jalan tengah, yaitu pelaksanaan UAN tetap dilakukan tetapi bukan untuk menentukan kelulusan peserta didik melainkan hanya digunakan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar peserta didik selama mendapatkan pembelajaran dari pendidik di sekolahnya secara umum. Jadi, peserta didik tidak perlu takut lagi jika tidak lulus ujian tersebut, karena kelulusan dilakukan sepenuhnya oleh pendidik di sekolah.